Resensi buku

Rabu, 06 Juni 2012

Cinta (Benda) Mati

“Aku mencintaimu.”

Lagi-lagi kudengar kalimat yang sama meluncur dari bibir mungil nan ranum itu. Aku mengintip dari balik jendela. Gadis berambut panjang yang tiap hari, diwaktu yang sama, pukul empat sore, selalu berdiri di depan rumahku.

“Mengapa kau tidak pernah menjawab? Apa kau tidak mencintaiku?” Gadis itu merengut menatap benda tinggi, putih menjulang di hadapannya. “Mengapa kau tidak pernah menjawab?” ulangnya. Hanya keheningan yang menjawab.

Langit senja sudah mulai tampak. Sinar keemasan menyentuh kulit putih yang sudah hampir dua jam mematung di depan rumahku. Aku pun sama, tiap hari diwaktu yang sama, selalu berdiri di balik jendela hanya untuk memandangi lekuk wajah gadis bermata sipit itu. Menunggu kalimat-kalimat lain yang keluar dari bibir merahnya.

Karin, begitu gadis itu dipanggil. Aku mulai mengenalnya setahun yang lalu, saat dia dan kedua orangtuanya baru pindah ke perumahanku dan tinggal di samping rumahku. Dia gadis yang cantik dan menawan. Ya, sangat menggairahkan.

“Apa kau tidak mencintaiku?” Lagi-lagi kalimat yang sama sejak setahun yang lalu. Setiap hari, diwaktu yang sama, selama dua jam. Karin hanya mengucapkan kalimat-kalimat itu. Setiap hari di depan rumahku.

Sekarang senja sudah benar-benar tenggelam bersama pemiliknya. Suara nyanyian burung menjadi latar dari siluet gadis yang masih mematung di depan rumahku. Memandangi benda yang selama setahun ini selalu dipeluk dan dikaguminya.
*
Aku tidak tahu Karin menderita penyakit atau syndrome apa namanya. Aku hanya tahu, sejak setahun yang lalu gadis itu tergila-gila pada benda yang menempel di depan rumahku. Aku tahu kalimat yang sering dia ucapkan hanya ‘Aku mencintaimu’, ‘Apa kau tidak mencintaiku?’, dan ‘Mengapa kau tidak pernah menjawab?

Aku tahu orang-orang menyebut gadis itu gila karena sikapnya. Aku tahu semua laki-laki yang berusaha mendekatinya perlahan mundur teratur saat menyadari kelainan pada gadis itu. Aku tahu alasan orangtuanya pindah ke sini karena tidak tahan melihat anaknya dikucilkan. Aku tahu bahwa sebelumnya, Karin, mencintai benda lain di tempat tinggalnya dahulu. Karin, gadis senja ini, pernah mencintai dinding kamarnya.

Karin, gadis yang sejak setahun lalu selalu mencuri perhatianku, mencuri soreku, dan telah mencuri hatiku. Karin, gadis yang merah bibirnya selalu membuaiku dalam kehangatan senja. Karin, gadis yang tak sedetik pun pernah menoleh ke arahku. Karin, gadis yang mencintai pagar rumahku.
*
“Aku mencitaimu,” bisikku tepat di telinga gadis bermata sipit di sampingku.

Dia tidak berkedip apalagi menoleh ke arahku. Tatapan matanya dingin, memandang lurus benda tinggi putih menjulang di hadapannya. Tangannya memeluk erat benda yang diakui sebagai belahan jiwanya.

“Mengapa kau tidak menjawab?” tanyaku.

Sudah hampir tiga tahun seperti ini. Setiap hari. Aku bahkan pernah berpikir untuk menghancurkan besi menjulang ini dan akhirnya urung tiap kali menatap mata teduh gadis ini. Ya, gadis ini memang gila. Gadis gila yang mencintai benda dingin tak bernyawa. Dan aku, lelaki yang selama tiga tahun selalu mengintip dari balik jendela, mungkin sudah gila. Aku, mencintai gadis ini. Aku mencintai benda hidup di sampingku.

**
Makassar, 1 Mei 2012