Tiga menit lagi final mata kuliah Kritik Sastra dimulai. Chelka memasuki ruang kelas dengan napas terengah – engah. Matanya menyapu seluruh ruangan mencari bangku yang belum berpenghuni.
“Chelka!” panggil Dalvin.
Chelka berbalik ke arah suara dan mendapati sahabatnya sedang melambai ke arahnya. Cewek manis itu lalu berjalan menuju bangku kosong tepat di sebelah Dalvin, yang ternyata memang dipersiapkan untuknya.
“Kok terlambat?” tanya Dalvin.
“Macet." Dan pengawas pun datang.
*
Chelka baru saja dari kelas Aneta yang juga sahabatnya -tetapi berbeda kelas- ketika tanpa sengaja dia bersenggolan dengan seseorang di ujung koridor. “Oh, maaf,” kata Chelka tanpa memperhatikan wajah orang yang ditabraknya.
“No problemo. Eh, Chelka ya?”
Chelka akhirnya menoleh ke arah si empunya suara. Barulah dia melihat dengan jelas wajah cowok itu. Garis mukanya datar, dengan alis yang sama tipis dengan garis bibirnya. Rambutnya acak – acakan seperti belum disisir. “Oh, iya. Alen, kan? Teman sekelasnya Aneta?”
Cowok yang ternyata bernama Alen itu pun mengangguk. Chelka yang tadinya berniat ke kantin akhirnya batal ke kantin karena Alen mengajaknya ngobrol. Mereka membahas soal–soal final tadi.
Chelka terkesima karena kepandaian cowok di depannya. Bukan hanya soal sastra, bahkan lebih dari itu Alen bisa menjelaskannya. Teori beserta ahlinya pun tak luput dari penjelasannya. Chelka hanya berani berkomentar, “Ternyata kamu itu pintar, ya? Tapi kata Anet, kamu itu jarang bicara di kelas. Padahal kalau aku lihat, kamu itu cerdas!” kata Chelka polos.
Alen hanya tersenyum tipis. Sekali lagi Chelka terpana. Bukan karena senyum Alen yang mau dilihat dari sudut mana pun memang sangat manis, tapi karena dia teringat julukan teman–temannya untuk Alen, yaitu ‘cowok datar’. Untuk ukuran orang yang baru pertama ngobrol dengan Alen, Chelka berani berpendapat kalau Alen itu sebenarnya ramah.
“Eh, aku ke kelas dulu ya. Mau ambil tas,” kata Alen yang langsung diiyakan oleh Chelka. Mereka lalu berpisah di ujung koridor.
*
Hari terakhir final, Chelka lagi–lagi tanpa sengaja bertemu dengan Alen, tapi kali ini tanpa senggol–senggolan. Selain membincangkan tentang final tes tadi, mereka mulai membicarakan hal–hal di luar pelajaran, semisal tentang kegemaran masing–masing. Keakraban mereka pun berlanjut ke hari–hari berikutnya.
Dari jauh Dalvin mengamati Chelka yang sedang asyik ngobrol dengan Alen di taman kampus. Entah mengapa ada rasa tidak rela melihat mereka berdua begitu akrab. Ada rasa takut kehilangan dalam diri Dalvin. Takut kalau–kalau Chelka lebih akrab dengan Alen dari pada dirinya. Takut kalau posisinya digantikan oleh Alen. Takut kalau Chelka ternyata mulai memiliki rasa pada Alen.
Ah, kenapa mesti takut. Toh, aku lebih dulu mengenal Chelka dari pada Alen, kata Dalvin dalam hati.
Kecemasan Dalvin ternyata terbukti ketika mendapati Chelka mulai sering sms-an atau telpon-telponan dengan Alen. Meskipun Chelka masih lebih sering berkumpul dengan Dalvin dan Aneta, tetapi Dalvin masih saja merasa aneh.
‘Keanehan’ sikap Dalvin terhadap keakraban Chelka dan Alen akhirnya diketahui Aneta. Cewek cantik yang terkenal cerewet dan ceplas – ceplos itu pun tanpa pendahuluan dan salam pembuka langsung menodongi Dalvin dengan berbagai pertanyaan. Saat itu mereka sedang berada di rumah Aneta. Chelka juga akan datang, tapi setelah dia mengantar adiknya ke toko buku.
“Kamu mengaku saja. Dari caramu memandang Chelka saja, aku sudah tahu kalau kamu itu suka sama dia."
“Jangan sok tahu kamu, Net. Kamu dan Chelka itu sama saja, sama – sama sahabatku,” bela Dalvin.
“Alaaah! Dengar baik–baik, ya. Mata kamu itu tidak bisa bohong. Pandangan kamu beda waktu lihat aku berduaan dengan pacarku dan saat Chelka berduaan dengan Alen yang jelas tidak punya hubungan apa – apa."
Dalvin akhirnya menyerah. Di antara mereka bertiga, memang Aneta yang paling pandai ‘mencium’ gelagat tidak beres. “Iya, aku memang suka sama Chelka. Jauh sebelum aku sendiri menyadarinya...” lalu mengalirlah pengakuan Dalvin tentang perasaannya pada Chelka.
Tanpa sepengetahuan Aneta dan Dalvin ternyata Chelka mendengar pengakuan Dalvin. Dia merasa kaget dan tidak menyangka kalau sahabatnya itu suka dengan dirinya. Padahal Chelka hanya menganggap Dalvin seperti kakaknya sendiri.
“Ehem,” Chelka berdehem.
Dalvin dan Aneta menoleh kaget. “Chelka? Se, sejak kapan...?” tanya Aneta terbata–bata. Dia menoleh cemas ke arah Dalvin yang membeku di tempatnya.
“Aku sudah dari tadi datang. Segitu asyiknya kalian ngobrol sampai salam aku saja tidak dijawab."
“Mmm... Chel, apa kamu tadi dengar pembicaraan kami?” tanya Dalvin gugup.
Chelka memandang Dalvin sebentar lalu berpaling ke arah Aneta, “Anggap saja aku tidak pernah mendengar pengakuan kamu."
“Tapi, Chel...,” Aneta memegang pundak Chelka. “Dalvin benar–benar suka sama kamu."
Dalvin menunduk dalam. Cowok yang terkenal sangat pandai ini diam seribu bahasa. Baru kali ini dia tidak berkutik di depan perempuan. Makhluk lembut yang sangat dikaguminya.
“Dalvin, bukannya aku tidak suka sama kamu. Tapi aku menganggap kamu seperti kakak aku. Lebih dari seorang pacar, aku sangat sayang sama kamu. Kita bisa selalu bersama, tetapi mungkin bukan sebagai pacar. Aku tidak mau merusak hubungan yang lebih indah dari apa pun ini. Aku tidak mampu membayar hari–hari kita bertiga sebagai sahabat. Aku tidak mau kehilangan Dalvin-ku seandainya kita nanti pacaran,” Chelka menggenggam tangan Dalvin erat.
Dalvin menatap mata Chelka lekat, dalam, tanpa kata–kata. Akhirnya dia tersenyum simpul. Senyumnya bahkan lebih manis dari senyum siapa pun yang dikenal Chelka.
“Kamu mengerti kan Dalvin? Aku tidak sanggup kalau ternyata kita pacaran lalu putus.”
Dalvin mengangguk. Mereka bertiga kembali erat. Bukan sebagai pacar, tapi sahabat. Sahabat yang tak tergantikan.
*
Beberapa bulan kemudian, di kampus.
“Jadi kamu belum jadian sama Alen?” tanya Aneta yang ceplas–ceplos.
Chelka mencubit lengan sahabatnya pelan, tapi cukup membuat Aneta meringis. Dalvin yang duduk di samping Chelka hanya tertawa kecil. “Aneta! Siapa juga yang mau sama Alen? Cowok datar yang jarang senyum, sengaknya minta ampun dan playboy itu?!”
Aneta tertawa, “Tapi dia ganteng kan? Hahaha. Kamu sendiri yang bilang kalau Alen itu enak diajak curhat, baik, dan tidak pilih–pilih teman kan?”
“Iya. Dia memang baik dan enak diajak ngomong, tapi bukan berarti dia juga oke diajak pacaran. Lagian dia juga sudah jadian sama teman kelas kamu, kan? Si Deva itu, kan?”
“Bukannya sama Mela, ya? Cewek dari fakultas sebelah?” Dalvin ikut nimbrung.
Aneta dan Chelka berpandangan lalu tertawa. Dalvin hanya garuk–garuk kepala bingung.
“Hahaha. Aku kasih tahu, ya. Alen sudah putus sama Mela tiga bulan yang lalu dan sama Deva? Tinggal kenangan! Seminggu yang lalu dia sudah putus!” jelas Aneta.
Ternyata selain cerewet, Aneta juga biang gosip.
“Hah?! Selamat, Chelka. Kamu punya peluang!!” seru Dalvin.
Chelka hanya geleng – geleng mendengar candaan teman–temannya. Sampai sekarang dia sendiri masih bingung dengan perasaannya. Apakah dia memang suka pada Alen atau hanya sekadar kagum oleh kepandaian cowok itu. Kadang–kadang Chelka senang jika melihat Alen tersenyum, mengiriminya pesan, atau sekadar menyapanya. Apa pun itu, selama tentang Alen, Chelka suka tersenyum.
“Hei! Kamu sedang melamunkan Alen, ya?” goda Dalvin.
Wajah Chelka bersemu.
“Haha. Wajahmu kayak kepiting rebus!” goda Dalvin lagi.
“Hahaha. Chelka, kamu itu sama saja dengan Dalvin. Tidak bisa menyembunyikan perasaan,” tebak Aneta. Dia melirik ke arah Dalvin yang mulai kesal karena namanya dibawa-bawa. “Sebaiknya, kamu harus jujur dengan perasaanmu sendiri. Kalau kamu memang suka, tidak peduli Alen itu playboy, jutek, atau pun cuek."
Dalvin mengangguk setuju, “Mungkin saja kalau kalian sudah pacaran, Alen bisa berubah jadi lebih terbuka lagi dengan orang–orang di sekelilingnya."
“Tenang saja, Chel. Apa pun keputusan kamu nanti, kita berdua selalu dukung kamu,” kata Aneta sambil merangkul pundak Chelka.
Chelka memandang kedua sahabatnya. “Terima kasih, ya. Kalian memang sahabatku yang paling berharga. Kalian selalu ada untukku,” kata Chelka sambil tersenyum manis.
Tiba–tiba ponsel Chelka berdering, ada pesan masuk. Chelka membuka dan membaca pesannya.
From : Alen (085342xxxxxx)
Hai, Chelka. Maaf aku mengganggu. Tapi, aku benar – benar merasa harus mengatakan ini meskipun itu hanya lewat pesan singkat.
Chelka, kamu harus tahu kalau aku suka senyummu. Aku suka tiap kali kamu tertawa. Aku suka tiap mendengar suaramu di telpon. Ah, pokoknya semua tentangmu aku suka!
Chelka, setelah pesan ini kamu baca, terserah apa reaksimu. Aku tidak peduli. Aku tidak akan menyerah untuk suka sama kamu.
Chelka, tiap aku menatap ke matamu... Aku berani bersumpah, ada aku di sana.
Chelka menyimpan ponselnya lalu tersenyum penuh arti.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar