Aku pertama kali bertemu dengannya di salah satu sudut restoran cepat saji yang biasa kudatangi bersama karibku, Eki. Tapi, kali itu aku sedang sendiri.
Sehari sebelumnya adalah ulang tahunku. Dia mengucapkan selamat melalui media sosial Twitter. Entah kenapa tiba-tiba--melalui media yg sama--kuajak dia untuk bertemu esok sore. Semacam kopi darat--istilah yang sering digunakan nettizen--di restoran cepat saji langgananku.
Esoknya aku datang duluan. Aku duduk menunggu di salah satu meja di sudut ruangan sambil melipat kertas origami yang selalu kubawa di dalam tasku.
Lima belas menit kemudian, dia datang. Tidak sendiri, ternyata. Ada seorang lelaki di sampingnya. Oh, iya. Aku belum bilang kalau yang sedang kutunggu adalah seorang perempuan kan? Ya, dia datang bersama seorang lelaki. Belakangan kutahu kalau lelaki itu juga adalah teman dunia mayaku. Dunia yang (tidak) sempit.
Kami bertiga cepat akrab, mengingat di antara kami tidak ada yang memiliki sifat pemalu. Ya, aku tahu itu. Kedua teman baruku membawa dua hal yang luar biasa menurutku. Si wanita pandai merajut dan si pria pandai bersajak. Aku tidak tahu ada hubungan apa di antara mereka. Aku tidak peduli. Toh, nanti aku akan tahu dengan sendirinya. Sore itu, aku diajari merajut. Dengan huruf 't' di akhirnya, bukan 'k'.
Teman baruku ini unik. Dia tipe perempuan yang terbuka, dalam hal perasaan, menurutku. Di pertemuan kedua dia sudah berani menceritakan soal lelaki yang (pernah) ada di hidupnya.
Mereka baru saja putus beberapa pekan yang lalu, akunya waktu itu. Aku percaya itu. Tampak jelas dari suara dan ekspresinya saat bercerita tentang lelaki gondrong mantan pacarnya itu, bahwa dia masih cinta.
Di pertemuan kedua pula aku yakin kalau perempuan perajut itu juga pandai merajuk pada pacarnya, dulu. Dia bilang, sering marah saat pacarnya mengobrol dengan perempuan lain. Mereka memutuskan berpisah pun tidak jauh dari soal cemburu. Apa kubilang? Dia memang perajut yang suka merajuk.
Besok, kami berjanji bertemu di restoran cepat saji itu lagi. Akan menjadi pertemuan kelima kami. Dia berjanji akan mengajariku merajut syal. Aku pun yakin dia akan membawa cerita tentang pria gondrong yang sering membuat matanya bengkak itu lagi.
Mengapa kukatakan dia salah satu orang luar biasa di hidupku? Sebab karena dia, cerita ini lahir. Hmm..., apakah tadi aku sudah mengatakan kalau perempuan itu bernama Hening?
Selasa, 11 Desember 2012
Selasa, 30 Oktober 2012
Dara dan Senyum Matahari
“Tidak ada senja yang sama. Senja selalu membawa cerita berbeda setiap hari dan aku selalu menikmatinya. Aku tak ingin bersusah payah kembali ke hari kemarin hanya untuk menikmati senja. Sebab, senja sudah kurekam dalam sajak. Begitu pula cinta….”
Dulu, aku selalu merasa orang yang paling malang di dunia. Lelaki paling kasihan. Ya, dulu, saat aku dan Alya putus. Bagaimana tidak, kami sudah berpacaran cukup lama. Tiga tahun, sejak kelas dua SMA. Di tahun ketiga, Alya memutuskan hubungan tiba-tiba dengan alasan yang tidak masuk akal. Dia akan melanjutkan kuliah di luar negeri. Dia tidak sanggup jika menjalani hubungan jarak jauh. Persetan! Saat itu aku sangat muak dan marah.
Itu dulu. Sebelum setahun kemudian aku bertemu dengan Dara, si pemilik senyum matahari. Dara, tetangga baruku, hadir membawa tujuh warna pelangi untukku. Dia mengubah hidupku bahkan sejak pertama kami berkenalan. Demi apapun, ingin kucuri sedikit keceriaan di dalam senyumnya.
Saat aku terpuruk mengingat masa lalu, dia seperti lilin kecil memberi terang dalam hidup yang telah kuanggap kelam sejak hubunganku dengan Alya berakhir tragis. Dulu, aku selalu ingin menghentikan waktu setiap kuingat Alya. Sebab sakitnya benar-benar sampai ke ulu hati.
Kini, aku pun ingin menghentikan waktu. Bedanya, sekarang karena Dara. Gadis itu, dengan senyum hangatnya—seperti bunga matahari, cerah—benar-benar membuatku ingin menghentikan dunia. Agar lebih lama bisa kukagumi paras elok itu. Aku bahkan lupa sudah berapa lama aku tenggelam dan menutup pintu dari perempuan lain. Semua karena Dara.
“Apa yang kausuka dariku, Adera?” tanya Dara suatu hari.
Aku tersenyum dan memandang wajah ovalnya. “Kau membuat segalanya lebih indah, Dara. Ada banyak bunga di hatimu. Ada banyak pelangi di senyummu. Aku mau memetik dan mengambil satu warnanya, kuberi untukmu.”
Wajah itu merona karena malu. Aku suka.
“Oh, ya? Bunga apa yang akan kaupetik dan warna apa yang akan kaupilih?”
Aku menyentuh pipinya dengan satu jariku. “Bunga matahari dan warna jingga. Kau yang terbaik, Dara. Kau.”
**
Dulu, aku selalu merasa orang yang paling malang di dunia. Lelaki paling kasihan. Ya, dulu, saat aku dan Alya putus. Bagaimana tidak, kami sudah berpacaran cukup lama. Tiga tahun, sejak kelas dua SMA. Di tahun ketiga, Alya memutuskan hubungan tiba-tiba dengan alasan yang tidak masuk akal. Dia akan melanjutkan kuliah di luar negeri. Dia tidak sanggup jika menjalani hubungan jarak jauh. Persetan! Saat itu aku sangat muak dan marah.
Itu dulu. Sebelum setahun kemudian aku bertemu dengan Dara, si pemilik senyum matahari. Dara, tetangga baruku, hadir membawa tujuh warna pelangi untukku. Dia mengubah hidupku bahkan sejak pertama kami berkenalan. Demi apapun, ingin kucuri sedikit keceriaan di dalam senyumnya.
Saat aku terpuruk mengingat masa lalu, dia seperti lilin kecil memberi terang dalam hidup yang telah kuanggap kelam sejak hubunganku dengan Alya berakhir tragis. Dulu, aku selalu ingin menghentikan waktu setiap kuingat Alya. Sebab sakitnya benar-benar sampai ke ulu hati.
Kini, aku pun ingin menghentikan waktu. Bedanya, sekarang karena Dara. Gadis itu, dengan senyum hangatnya—seperti bunga matahari, cerah—benar-benar membuatku ingin menghentikan dunia. Agar lebih lama bisa kukagumi paras elok itu. Aku bahkan lupa sudah berapa lama aku tenggelam dan menutup pintu dari perempuan lain. Semua karena Dara.
“Apa yang kausuka dariku, Adera?” tanya Dara suatu hari.
Aku tersenyum dan memandang wajah ovalnya. “Kau membuat segalanya lebih indah, Dara. Ada banyak bunga di hatimu. Ada banyak pelangi di senyummu. Aku mau memetik dan mengambil satu warnanya, kuberi untukmu.”
Wajah itu merona karena malu. Aku suka.
“Oh, ya? Bunga apa yang akan kaupetik dan warna apa yang akan kaupilih?”
Aku menyentuh pipinya dengan satu jariku. “Bunga matahari dan warna jingga. Kau yang terbaik, Dara. Kau.”
**
Kamis, 06 September 2012
Tak Ada Tempat Untukmu Lagi
Aku tidak pernah menyesal pernah mengenalmu, sungguh tak pernah. Tapi, untuk menerimamu kembali di hidupku…. Aku tak punya kesempatan kedua untukmu.
“Kita sudah berakhir,” kataku tegas. Cukup tegas hingga membuat lelaki di depanku tertunduk lesu.
“Tapi, aku sudah berubah. Aku bukan lagi lelaki yang sama dengan setahun yang lalu. Bukan lagi lelaki yang cemburuan, egois, dan posesif,” katanya dalam.
Aku tersenyum. “Relakanlah semua. Kita sudah berakhir. Aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaanmu.”
Dia bergerak untuk memegang tanganku, menggenggamnya erat hanya sekadar untuk meyakinkanku bahwa dia benar-benar ingin kembali padaku. “Sampai detik ini, kau masih kuanggap bintang yang paling bersinar di antara sinar langit lainnya.”
Aku melepas genggamannya, pelan. Lalu aku menggeleng seraya ikut meyakinkannya, “Aku masih ingat pengkhianatanmu waktu itu. Jujur, aku sangat hancur saat kulihat kau selingkuh dengan sepupuku sendiri. Tapi, tahukah kamu Rendra? Detik ini juga aku sudah ikhlas dengan semuanya. Tak ada dendam lagi di sini…” Aku menunjuk tepat di hatiku. “Di sini bukan lagi tempatmu, Ren. Aku bukan lagi bintangmu dan tidak akan pernah lagi menjadi bintangmu.”
“Aku mohon…,” pintanya memelas.
Lagi-lagi aku menggeleng, tegas. “Percuma, Rendra. Di hatiku tak ada lagi tempat untukmu. Kita sudah berakhir…. Sejak kau memutuskan memacari sepupuku.” Aku berusaha menghilangkan rasa sakit yang tiba-tiba muncul saat mengatakan kalimat itu. Kepingan memori setahun yang lalu muncul kembali. Menari indah di pikiranku, di depan mataku. Saat itu aku benar-benar hancur. Butuh waktu enam bulan untuk memperbaiki kepingan tersebut, bahkan mungkin hingga detik ini.
Aku tersenyum tipis ke arah Rendra, mantan kekasihku. “Rendra, terima kasih atas semua usahamu. Semoga kita bisa menjalin hubungan baik sebagai teman. Hanya sebatas teman, Rendra….”
“Kita sudah berakhir,” kataku tegas. Cukup tegas hingga membuat lelaki di depanku tertunduk lesu.
“Tapi, aku sudah berubah. Aku bukan lagi lelaki yang sama dengan setahun yang lalu. Bukan lagi lelaki yang cemburuan, egois, dan posesif,” katanya dalam.
Aku tersenyum. “Relakanlah semua. Kita sudah berakhir. Aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaanmu.”
Dia bergerak untuk memegang tanganku, menggenggamnya erat hanya sekadar untuk meyakinkanku bahwa dia benar-benar ingin kembali padaku. “Sampai detik ini, kau masih kuanggap bintang yang paling bersinar di antara sinar langit lainnya.”
Aku melepas genggamannya, pelan. Lalu aku menggeleng seraya ikut meyakinkannya, “Aku masih ingat pengkhianatanmu waktu itu. Jujur, aku sangat hancur saat kulihat kau selingkuh dengan sepupuku sendiri. Tapi, tahukah kamu Rendra? Detik ini juga aku sudah ikhlas dengan semuanya. Tak ada dendam lagi di sini…” Aku menunjuk tepat di hatiku. “Di sini bukan lagi tempatmu, Ren. Aku bukan lagi bintangmu dan tidak akan pernah lagi menjadi bintangmu.”
“Aku mohon…,” pintanya memelas.
Lagi-lagi aku menggeleng, tegas. “Percuma, Rendra. Di hatiku tak ada lagi tempat untukmu. Kita sudah berakhir…. Sejak kau memutuskan memacari sepupuku.” Aku berusaha menghilangkan rasa sakit yang tiba-tiba muncul saat mengatakan kalimat itu. Kepingan memori setahun yang lalu muncul kembali. Menari indah di pikiranku, di depan mataku. Saat itu aku benar-benar hancur. Butuh waktu enam bulan untuk memperbaiki kepingan tersebut, bahkan mungkin hingga detik ini.
Aku tersenyum tipis ke arah Rendra, mantan kekasihku. “Rendra, terima kasih atas semua usahamu. Semoga kita bisa menjalin hubungan baik sebagai teman. Hanya sebatas teman, Rendra….”
**
Rabu, 05 September 2012
Semua tentang Chelka
Matahari menyembul dari balik awan, tanpa ragu membagi sinarnya ke seluruh penjuru. Siang yang terik tak membuat Chelka gentar berjalan menyusuri lapangan basket kampusnya. Dengan ransel di punggungnya cewek berkaca mata itu tergesa – gesa menuju ruang perkuliahan yang terletak di sebelah utara. Chelka terpaksa memotong jalan melewati lapangan basket yang ‘terang’ karena sinar matahari.
Tiga menit lagi final mata kuliah Kritik Sastra dimulai. Chelka memasuki ruang kelas dengan napas terengah – engah. Matanya menyapu seluruh ruangan mencari bangku yang belum berpenghuni.
“Chelka!” panggil Dalvin.
Chelka berbalik ke arah suara dan mendapati sahabatnya sedang melambai ke arahnya. Cewek manis itu lalu berjalan menuju bangku kosong tepat di sebelah Dalvin, yang ternyata memang dipersiapkan untuknya.
“Kok terlambat?” tanya Dalvin.
“Macet." Dan pengawas pun datang.
Chelka baru saja dari kelas Aneta yang juga sahabatnya -tetapi berbeda kelas- ketika tanpa sengaja dia bersenggolan dengan seseorang di ujung koridor. “Oh, maaf,” kata Chelka tanpa memperhatikan wajah orang yang ditabraknya.
“No problemo. Eh, Chelka ya?”
Chelka akhirnya menoleh ke arah si empunya suara. Barulah dia melihat dengan jelas wajah cowok itu. Garis mukanya datar, dengan alis yang sama tipis dengan garis bibirnya. Rambutnya acak – acakan seperti belum disisir. “Oh, iya. Alen, kan? Teman sekelasnya Aneta?”
Cowok yang ternyata bernama Alen itu pun mengangguk. Chelka yang tadinya berniat ke kantin akhirnya batal ke kantin karena Alen mengajaknya ngobrol. Mereka membahas soal–soal final tadi.
Chelka terkesima karena kepandaian cowok di depannya. Bukan hanya soal sastra, bahkan lebih dari itu Alen bisa menjelaskannya. Teori beserta ahlinya pun tak luput dari penjelasannya. Chelka hanya berani berkomentar, “Ternyata kamu itu pintar, ya? Tapi kata Anet, kamu itu jarang bicara di kelas. Padahal kalau aku lihat, kamu itu cerdas!” kata Chelka polos.
Alen hanya tersenyum tipis. Sekali lagi Chelka terpana. Bukan karena senyum Alen yang mau dilihat dari sudut mana pun memang sangat manis, tapi karena dia teringat julukan teman–temannya untuk Alen, yaitu ‘cowok datar’. Untuk ukuran orang yang baru pertama ngobrol dengan Alen, Chelka berani berpendapat kalau Alen itu sebenarnya ramah.
“Eh, aku ke kelas dulu ya. Mau ambil tas,” kata Alen yang langsung diiyakan oleh Chelka. Mereka lalu berpisah di ujung koridor.
Hari terakhir final, Chelka lagi–lagi tanpa sengaja bertemu dengan Alen, tapi kali ini tanpa senggol–senggolan. Selain membincangkan tentang final tes tadi, mereka mulai membicarakan hal–hal di luar pelajaran, semisal tentang kegemaran masing–masing. Keakraban mereka pun berlanjut ke hari–hari berikutnya.
Dari jauh Dalvin mengamati Chelka yang sedang asyik ngobrol dengan Alen di taman kampus. Entah mengapa ada rasa tidak rela melihat mereka berdua begitu akrab. Ada rasa takut kehilangan dalam diri Dalvin. Takut kalau–kalau Chelka lebih akrab dengan Alen dari pada dirinya. Takut kalau posisinya digantikan oleh Alen. Takut kalau Chelka ternyata mulai memiliki rasa pada Alen.
Ah, kenapa mesti takut. Toh, aku lebih dulu mengenal Chelka dari pada Alen, kata Dalvin dalam hati.
Kecemasan Dalvin ternyata terbukti ketika mendapati Chelka mulai sering sms-an atau telpon-telponan dengan Alen. Meskipun Chelka masih lebih sering berkumpul dengan Dalvin dan Aneta, tetapi Dalvin masih saja merasa aneh.
‘Keanehan’ sikap Dalvin terhadap keakraban Chelka dan Alen akhirnya diketahui Aneta. Cewek cantik yang terkenal cerewet dan ceplas – ceplos itu pun tanpa pendahuluan dan salam pembuka langsung menodongi Dalvin dengan berbagai pertanyaan. Saat itu mereka sedang berada di rumah Aneta. Chelka juga akan datang, tapi setelah dia mengantar adiknya ke toko buku.
“Kamu mengaku saja. Dari caramu memandang Chelka saja, aku sudah tahu kalau kamu itu suka sama dia."
“Jangan sok tahu kamu, Net. Kamu dan Chelka itu sama saja, sama – sama sahabatku,” bela Dalvin.
“Alaaah! Dengar baik–baik, ya. Mata kamu itu tidak bisa bohong. Pandangan kamu beda waktu lihat aku berduaan dengan pacarku dan saat Chelka berduaan dengan Alen yang jelas tidak punya hubungan apa – apa."
Dalvin akhirnya menyerah. Di antara mereka bertiga, memang Aneta yang paling pandai ‘mencium’ gelagat tidak beres. “Iya, aku memang suka sama Chelka. Jauh sebelum aku sendiri menyadarinya...” lalu mengalirlah pengakuan Dalvin tentang perasaannya pada Chelka.
Tanpa sepengetahuan Aneta dan Dalvin ternyata Chelka mendengar pengakuan Dalvin. Dia merasa kaget dan tidak menyangka kalau sahabatnya itu suka dengan dirinya. Padahal Chelka hanya menganggap Dalvin seperti kakaknya sendiri.
“Ehem,” Chelka berdehem.
Dalvin dan Aneta menoleh kaget. “Chelka? Se, sejak kapan...?” tanya Aneta terbata–bata. Dia menoleh cemas ke arah Dalvin yang membeku di tempatnya.
“Aku sudah dari tadi datang. Segitu asyiknya kalian ngobrol sampai salam aku saja tidak dijawab."
“Mmm... Chel, apa kamu tadi dengar pembicaraan kami?” tanya Dalvin gugup.
Chelka memandang Dalvin sebentar lalu berpaling ke arah Aneta, “Anggap saja aku tidak pernah mendengar pengakuan kamu."
“Tapi, Chel...,” Aneta memegang pundak Chelka. “Dalvin benar–benar suka sama kamu."
Dalvin menunduk dalam. Cowok yang terkenal sangat pandai ini diam seribu bahasa. Baru kali ini dia tidak berkutik di depan perempuan. Makhluk lembut yang sangat dikaguminya.
“Dalvin, bukannya aku tidak suka sama kamu. Tapi aku menganggap kamu seperti kakak aku. Lebih dari seorang pacar, aku sangat sayang sama kamu. Kita bisa selalu bersama, tetapi mungkin bukan sebagai pacar. Aku tidak mau merusak hubungan yang lebih indah dari apa pun ini. Aku tidak mampu membayar hari–hari kita bertiga sebagai sahabat. Aku tidak mau kehilangan Dalvin-ku seandainya kita nanti pacaran,” Chelka menggenggam tangan Dalvin erat.
Dalvin menatap mata Chelka lekat, dalam, tanpa kata–kata. Akhirnya dia tersenyum simpul. Senyumnya bahkan lebih manis dari senyum siapa pun yang dikenal Chelka.
“Kamu mengerti kan Dalvin? Aku tidak sanggup kalau ternyata kita pacaran lalu putus.”
Dalvin mengangguk. Mereka bertiga kembali erat. Bukan sebagai pacar, tapi sahabat. Sahabat yang tak tergantikan.
Beberapa bulan kemudian, di kampus.
“Jadi kamu belum jadian sama Alen?” tanya Aneta yang ceplas–ceplos.
Chelka mencubit lengan sahabatnya pelan, tapi cukup membuat Aneta meringis. Dalvin yang duduk di samping Chelka hanya tertawa kecil. “Aneta! Siapa juga yang mau sama Alen? Cowok datar yang jarang senyum, sengaknya minta ampun dan playboy itu?!”
Aneta tertawa, “Tapi dia ganteng kan? Hahaha. Kamu sendiri yang bilang kalau Alen itu enak diajak curhat, baik, dan tidak pilih–pilih teman kan?”
“Iya. Dia memang baik dan enak diajak ngomong, tapi bukan berarti dia juga oke diajak pacaran. Lagian dia juga sudah jadian sama teman kelas kamu, kan? Si Deva itu, kan?”
“Bukannya sama Mela, ya? Cewek dari fakultas sebelah?” Dalvin ikut nimbrung.
Aneta dan Chelka berpandangan lalu tertawa. Dalvin hanya garuk–garuk kepala bingung.
“Hahaha. Aku kasih tahu, ya. Alen sudah putus sama Mela tiga bulan yang lalu dan sama Deva? Tinggal kenangan! Seminggu yang lalu dia sudah putus!” jelas Aneta.
Ternyata selain cerewet, Aneta juga biang gosip.
“Hah?! Selamat, Chelka. Kamu punya peluang!!” seru Dalvin.
Chelka hanya geleng – geleng mendengar candaan teman–temannya. Sampai sekarang dia sendiri masih bingung dengan perasaannya. Apakah dia memang suka pada Alen atau hanya sekadar kagum oleh kepandaian cowok itu. Kadang–kadang Chelka senang jika melihat Alen tersenyum, mengiriminya pesan, atau sekadar menyapanya. Apa pun itu, selama tentang Alen, Chelka suka tersenyum.
“Hei! Kamu sedang melamunkan Alen, ya?” goda Dalvin.
Wajah Chelka bersemu.
“Haha. Wajahmu kayak kepiting rebus!” goda Dalvin lagi.
“Hahaha. Chelka, kamu itu sama saja dengan Dalvin. Tidak bisa menyembunyikan perasaan,” tebak Aneta. Dia melirik ke arah Dalvin yang mulai kesal karena namanya dibawa-bawa. “Sebaiknya, kamu harus jujur dengan perasaanmu sendiri. Kalau kamu memang suka, tidak peduli Alen itu playboy, jutek, atau pun cuek."
Dalvin mengangguk setuju, “Mungkin saja kalau kalian sudah pacaran, Alen bisa berubah jadi lebih terbuka lagi dengan orang–orang di sekelilingnya."
“Tenang saja, Chel. Apa pun keputusan kamu nanti, kita berdua selalu dukung kamu,” kata Aneta sambil merangkul pundak Chelka.
Chelka memandang kedua sahabatnya. “Terima kasih, ya. Kalian memang sahabatku yang paling berharga. Kalian selalu ada untukku,” kata Chelka sambil tersenyum manis.
Tiba–tiba ponsel Chelka berdering, ada pesan masuk. Chelka membuka dan membaca pesannya.
From : Alen (085342xxxxxx)
Hai, Chelka. Maaf aku mengganggu. Tapi, aku benar – benar merasa harus mengatakan ini meskipun itu hanya lewat pesan singkat.
Chelka, kamu harus tahu kalau aku suka senyummu. Aku suka tiap kali kamu tertawa. Aku suka tiap mendengar suaramu di telpon. Ah, pokoknya semua tentangmu aku suka!
Chelka, setelah pesan ini kamu baca, terserah apa reaksimu. Aku tidak peduli. Aku tidak akan menyerah untuk suka sama kamu.
Chelka, tiap aku menatap ke matamu... Aku berani bersumpah, ada aku di sana.
Chelka menyimpan ponselnya lalu tersenyum penuh arti.
***
Tiga menit lagi final mata kuliah Kritik Sastra dimulai. Chelka memasuki ruang kelas dengan napas terengah – engah. Matanya menyapu seluruh ruangan mencari bangku yang belum berpenghuni.
“Chelka!” panggil Dalvin.
Chelka berbalik ke arah suara dan mendapati sahabatnya sedang melambai ke arahnya. Cewek manis itu lalu berjalan menuju bangku kosong tepat di sebelah Dalvin, yang ternyata memang dipersiapkan untuknya.
“Kok terlambat?” tanya Dalvin.
“Macet." Dan pengawas pun datang.
*
Chelka baru saja dari kelas Aneta yang juga sahabatnya -tetapi berbeda kelas- ketika tanpa sengaja dia bersenggolan dengan seseorang di ujung koridor. “Oh, maaf,” kata Chelka tanpa memperhatikan wajah orang yang ditabraknya.
“No problemo. Eh, Chelka ya?”
Chelka akhirnya menoleh ke arah si empunya suara. Barulah dia melihat dengan jelas wajah cowok itu. Garis mukanya datar, dengan alis yang sama tipis dengan garis bibirnya. Rambutnya acak – acakan seperti belum disisir. “Oh, iya. Alen, kan? Teman sekelasnya Aneta?”
Cowok yang ternyata bernama Alen itu pun mengangguk. Chelka yang tadinya berniat ke kantin akhirnya batal ke kantin karena Alen mengajaknya ngobrol. Mereka membahas soal–soal final tadi.
Chelka terkesima karena kepandaian cowok di depannya. Bukan hanya soal sastra, bahkan lebih dari itu Alen bisa menjelaskannya. Teori beserta ahlinya pun tak luput dari penjelasannya. Chelka hanya berani berkomentar, “Ternyata kamu itu pintar, ya? Tapi kata Anet, kamu itu jarang bicara di kelas. Padahal kalau aku lihat, kamu itu cerdas!” kata Chelka polos.
Alen hanya tersenyum tipis. Sekali lagi Chelka terpana. Bukan karena senyum Alen yang mau dilihat dari sudut mana pun memang sangat manis, tapi karena dia teringat julukan teman–temannya untuk Alen, yaitu ‘cowok datar’. Untuk ukuran orang yang baru pertama ngobrol dengan Alen, Chelka berani berpendapat kalau Alen itu sebenarnya ramah.
“Eh, aku ke kelas dulu ya. Mau ambil tas,” kata Alen yang langsung diiyakan oleh Chelka. Mereka lalu berpisah di ujung koridor.
*
Hari terakhir final, Chelka lagi–lagi tanpa sengaja bertemu dengan Alen, tapi kali ini tanpa senggol–senggolan. Selain membincangkan tentang final tes tadi, mereka mulai membicarakan hal–hal di luar pelajaran, semisal tentang kegemaran masing–masing. Keakraban mereka pun berlanjut ke hari–hari berikutnya.
Dari jauh Dalvin mengamati Chelka yang sedang asyik ngobrol dengan Alen di taman kampus. Entah mengapa ada rasa tidak rela melihat mereka berdua begitu akrab. Ada rasa takut kehilangan dalam diri Dalvin. Takut kalau–kalau Chelka lebih akrab dengan Alen dari pada dirinya. Takut kalau posisinya digantikan oleh Alen. Takut kalau Chelka ternyata mulai memiliki rasa pada Alen.
Ah, kenapa mesti takut. Toh, aku lebih dulu mengenal Chelka dari pada Alen, kata Dalvin dalam hati.
Kecemasan Dalvin ternyata terbukti ketika mendapati Chelka mulai sering sms-an atau telpon-telponan dengan Alen. Meskipun Chelka masih lebih sering berkumpul dengan Dalvin dan Aneta, tetapi Dalvin masih saja merasa aneh.
‘Keanehan’ sikap Dalvin terhadap keakraban Chelka dan Alen akhirnya diketahui Aneta. Cewek cantik yang terkenal cerewet dan ceplas – ceplos itu pun tanpa pendahuluan dan salam pembuka langsung menodongi Dalvin dengan berbagai pertanyaan. Saat itu mereka sedang berada di rumah Aneta. Chelka juga akan datang, tapi setelah dia mengantar adiknya ke toko buku.
“Kamu mengaku saja. Dari caramu memandang Chelka saja, aku sudah tahu kalau kamu itu suka sama dia."
“Jangan sok tahu kamu, Net. Kamu dan Chelka itu sama saja, sama – sama sahabatku,” bela Dalvin.
“Alaaah! Dengar baik–baik, ya. Mata kamu itu tidak bisa bohong. Pandangan kamu beda waktu lihat aku berduaan dengan pacarku dan saat Chelka berduaan dengan Alen yang jelas tidak punya hubungan apa – apa."
Dalvin akhirnya menyerah. Di antara mereka bertiga, memang Aneta yang paling pandai ‘mencium’ gelagat tidak beres. “Iya, aku memang suka sama Chelka. Jauh sebelum aku sendiri menyadarinya...” lalu mengalirlah pengakuan Dalvin tentang perasaannya pada Chelka.
Tanpa sepengetahuan Aneta dan Dalvin ternyata Chelka mendengar pengakuan Dalvin. Dia merasa kaget dan tidak menyangka kalau sahabatnya itu suka dengan dirinya. Padahal Chelka hanya menganggap Dalvin seperti kakaknya sendiri.
“Ehem,” Chelka berdehem.
Dalvin dan Aneta menoleh kaget. “Chelka? Se, sejak kapan...?” tanya Aneta terbata–bata. Dia menoleh cemas ke arah Dalvin yang membeku di tempatnya.
“Aku sudah dari tadi datang. Segitu asyiknya kalian ngobrol sampai salam aku saja tidak dijawab."
“Mmm... Chel, apa kamu tadi dengar pembicaraan kami?” tanya Dalvin gugup.
Chelka memandang Dalvin sebentar lalu berpaling ke arah Aneta, “Anggap saja aku tidak pernah mendengar pengakuan kamu."
“Tapi, Chel...,” Aneta memegang pundak Chelka. “Dalvin benar–benar suka sama kamu."
Dalvin menunduk dalam. Cowok yang terkenal sangat pandai ini diam seribu bahasa. Baru kali ini dia tidak berkutik di depan perempuan. Makhluk lembut yang sangat dikaguminya.
“Dalvin, bukannya aku tidak suka sama kamu. Tapi aku menganggap kamu seperti kakak aku. Lebih dari seorang pacar, aku sangat sayang sama kamu. Kita bisa selalu bersama, tetapi mungkin bukan sebagai pacar. Aku tidak mau merusak hubungan yang lebih indah dari apa pun ini. Aku tidak mampu membayar hari–hari kita bertiga sebagai sahabat. Aku tidak mau kehilangan Dalvin-ku seandainya kita nanti pacaran,” Chelka menggenggam tangan Dalvin erat.
Dalvin menatap mata Chelka lekat, dalam, tanpa kata–kata. Akhirnya dia tersenyum simpul. Senyumnya bahkan lebih manis dari senyum siapa pun yang dikenal Chelka.
“Kamu mengerti kan Dalvin? Aku tidak sanggup kalau ternyata kita pacaran lalu putus.”
Dalvin mengangguk. Mereka bertiga kembali erat. Bukan sebagai pacar, tapi sahabat. Sahabat yang tak tergantikan.
*
Beberapa bulan kemudian, di kampus.
“Jadi kamu belum jadian sama Alen?” tanya Aneta yang ceplas–ceplos.
Chelka mencubit lengan sahabatnya pelan, tapi cukup membuat Aneta meringis. Dalvin yang duduk di samping Chelka hanya tertawa kecil. “Aneta! Siapa juga yang mau sama Alen? Cowok datar yang jarang senyum, sengaknya minta ampun dan playboy itu?!”
Aneta tertawa, “Tapi dia ganteng kan? Hahaha. Kamu sendiri yang bilang kalau Alen itu enak diajak curhat, baik, dan tidak pilih–pilih teman kan?”
“Iya. Dia memang baik dan enak diajak ngomong, tapi bukan berarti dia juga oke diajak pacaran. Lagian dia juga sudah jadian sama teman kelas kamu, kan? Si Deva itu, kan?”
“Bukannya sama Mela, ya? Cewek dari fakultas sebelah?” Dalvin ikut nimbrung.
Aneta dan Chelka berpandangan lalu tertawa. Dalvin hanya garuk–garuk kepala bingung.
“Hahaha. Aku kasih tahu, ya. Alen sudah putus sama Mela tiga bulan yang lalu dan sama Deva? Tinggal kenangan! Seminggu yang lalu dia sudah putus!” jelas Aneta.
Ternyata selain cerewet, Aneta juga biang gosip.
“Hah?! Selamat, Chelka. Kamu punya peluang!!” seru Dalvin.
Chelka hanya geleng – geleng mendengar candaan teman–temannya. Sampai sekarang dia sendiri masih bingung dengan perasaannya. Apakah dia memang suka pada Alen atau hanya sekadar kagum oleh kepandaian cowok itu. Kadang–kadang Chelka senang jika melihat Alen tersenyum, mengiriminya pesan, atau sekadar menyapanya. Apa pun itu, selama tentang Alen, Chelka suka tersenyum.
“Hei! Kamu sedang melamunkan Alen, ya?” goda Dalvin.
Wajah Chelka bersemu.
“Haha. Wajahmu kayak kepiting rebus!” goda Dalvin lagi.
“Hahaha. Chelka, kamu itu sama saja dengan Dalvin. Tidak bisa menyembunyikan perasaan,” tebak Aneta. Dia melirik ke arah Dalvin yang mulai kesal karena namanya dibawa-bawa. “Sebaiknya, kamu harus jujur dengan perasaanmu sendiri. Kalau kamu memang suka, tidak peduli Alen itu playboy, jutek, atau pun cuek."
Dalvin mengangguk setuju, “Mungkin saja kalau kalian sudah pacaran, Alen bisa berubah jadi lebih terbuka lagi dengan orang–orang di sekelilingnya."
“Tenang saja, Chel. Apa pun keputusan kamu nanti, kita berdua selalu dukung kamu,” kata Aneta sambil merangkul pundak Chelka.
Chelka memandang kedua sahabatnya. “Terima kasih, ya. Kalian memang sahabatku yang paling berharga. Kalian selalu ada untukku,” kata Chelka sambil tersenyum manis.
Tiba–tiba ponsel Chelka berdering, ada pesan masuk. Chelka membuka dan membaca pesannya.
From : Alen (085342xxxxxx)
Hai, Chelka. Maaf aku mengganggu. Tapi, aku benar – benar merasa harus mengatakan ini meskipun itu hanya lewat pesan singkat.
Chelka, kamu harus tahu kalau aku suka senyummu. Aku suka tiap kali kamu tertawa. Aku suka tiap mendengar suaramu di telpon. Ah, pokoknya semua tentangmu aku suka!
Chelka, setelah pesan ini kamu baca, terserah apa reaksimu. Aku tidak peduli. Aku tidak akan menyerah untuk suka sama kamu.
Chelka, tiap aku menatap ke matamu... Aku berani bersumpah, ada aku di sana.
Chelka menyimpan ponselnya lalu tersenyum penuh arti.
***
Rabu, 06 Juni 2012
Cinta (Benda) Mati
“Aku mencintaimu.”
Lagi-lagi kudengar kalimat yang sama meluncur dari bibir mungil nan ranum itu. Aku mengintip dari balik jendela. Gadis berambut panjang yang tiap hari, diwaktu yang sama, pukul empat sore, selalu berdiri di depan rumahku.
“Mengapa kau tidak pernah menjawab? Apa kau tidak mencintaiku?” Gadis itu merengut menatap benda tinggi, putih menjulang di hadapannya. “Mengapa kau tidak pernah menjawab?” ulangnya. Hanya keheningan yang menjawab.
Langit senja sudah mulai tampak. Sinar keemasan menyentuh kulit putih yang sudah hampir dua jam mematung di depan rumahku. Aku pun sama, tiap hari diwaktu yang sama, selalu berdiri di balik jendela hanya untuk memandangi lekuk wajah gadis bermata sipit itu. Menunggu kalimat-kalimat lain yang keluar dari bibir merahnya.
Karin, begitu gadis itu dipanggil. Aku mulai mengenalnya setahun yang lalu, saat dia dan kedua orangtuanya baru pindah ke perumahanku dan tinggal di samping rumahku. Dia gadis yang cantik dan menawan. Ya, sangat menggairahkan.
“Apa kau tidak mencintaiku?” Lagi-lagi kalimat yang sama sejak setahun yang lalu. Setiap hari, diwaktu yang sama, selama dua jam. Karin hanya mengucapkan kalimat-kalimat itu. Setiap hari di depan rumahku.
Sekarang senja sudah benar-benar tenggelam bersama pemiliknya. Suara nyanyian burung menjadi latar dari siluet gadis yang masih mematung di depan rumahku. Memandangi benda yang selama setahun ini selalu dipeluk dan dikaguminya.
Aku tahu orang-orang menyebut gadis itu gila karena sikapnya. Aku tahu semua laki-laki yang berusaha mendekatinya perlahan mundur teratur saat menyadari kelainan pada gadis itu. Aku tahu alasan orangtuanya pindah ke sini karena tidak tahan melihat anaknya dikucilkan. Aku tahu bahwa sebelumnya, Karin, mencintai benda lain di tempat tinggalnya dahulu. Karin, gadis senja ini, pernah mencintai dinding kamarnya.
Karin, gadis yang sejak setahun lalu selalu mencuri perhatianku, mencuri soreku, dan telah mencuri hatiku. Karin, gadis yang merah bibirnya selalu membuaiku dalam kehangatan senja. Karin, gadis yang tak sedetik pun pernah menoleh ke arahku. Karin, gadis yang mencintai pagar rumahku.
Dia tidak berkedip apalagi menoleh ke arahku. Tatapan matanya dingin, memandang lurus benda tinggi putih menjulang di hadapannya. Tangannya memeluk erat benda yang diakui sebagai belahan jiwanya.
“Mengapa kau tidak menjawab?” tanyaku.
Sudah hampir tiga tahun seperti ini. Setiap hari. Aku bahkan pernah berpikir untuk menghancurkan besi menjulang ini dan akhirnya urung tiap kali menatap mata teduh gadis ini. Ya, gadis ini memang gila. Gadis gila yang mencintai benda dingin tak bernyawa. Dan aku, lelaki yang selama tiga tahun selalu mengintip dari balik jendela, mungkin sudah gila. Aku, mencintai gadis ini. Aku mencintai benda hidup di sampingku.
Lagi-lagi kudengar kalimat yang sama meluncur dari bibir mungil nan ranum itu. Aku mengintip dari balik jendela. Gadis berambut panjang yang tiap hari, diwaktu yang sama, pukul empat sore, selalu berdiri di depan rumahku.
“Mengapa kau tidak pernah menjawab? Apa kau tidak mencintaiku?” Gadis itu merengut menatap benda tinggi, putih menjulang di hadapannya. “Mengapa kau tidak pernah menjawab?” ulangnya. Hanya keheningan yang menjawab.
Langit senja sudah mulai tampak. Sinar keemasan menyentuh kulit putih yang sudah hampir dua jam mematung di depan rumahku. Aku pun sama, tiap hari diwaktu yang sama, selalu berdiri di balik jendela hanya untuk memandangi lekuk wajah gadis bermata sipit itu. Menunggu kalimat-kalimat lain yang keluar dari bibir merahnya.
Karin, begitu gadis itu dipanggil. Aku mulai mengenalnya setahun yang lalu, saat dia dan kedua orangtuanya baru pindah ke perumahanku dan tinggal di samping rumahku. Dia gadis yang cantik dan menawan. Ya, sangat menggairahkan.
“Apa kau tidak mencintaiku?” Lagi-lagi kalimat yang sama sejak setahun yang lalu. Setiap hari, diwaktu yang sama, selama dua jam. Karin hanya mengucapkan kalimat-kalimat itu. Setiap hari di depan rumahku.
Sekarang senja sudah benar-benar tenggelam bersama pemiliknya. Suara nyanyian burung menjadi latar dari siluet gadis yang masih mematung di depan rumahku. Memandangi benda yang selama setahun ini selalu dipeluk dan dikaguminya.
*
Aku tidak tahu Karin menderita penyakit atau syndrome apa namanya. Aku hanya tahu, sejak setahun yang lalu gadis itu tergila-gila pada benda yang menempel di depan rumahku. Aku tahu kalimat yang sering dia ucapkan hanya ‘Aku mencintaimu’, ‘Apa kau tidak mencintaiku?’, dan ‘Mengapa kau tidak pernah menjawab?’Aku tahu orang-orang menyebut gadis itu gila karena sikapnya. Aku tahu semua laki-laki yang berusaha mendekatinya perlahan mundur teratur saat menyadari kelainan pada gadis itu. Aku tahu alasan orangtuanya pindah ke sini karena tidak tahan melihat anaknya dikucilkan. Aku tahu bahwa sebelumnya, Karin, mencintai benda lain di tempat tinggalnya dahulu. Karin, gadis senja ini, pernah mencintai dinding kamarnya.
Karin, gadis yang sejak setahun lalu selalu mencuri perhatianku, mencuri soreku, dan telah mencuri hatiku. Karin, gadis yang merah bibirnya selalu membuaiku dalam kehangatan senja. Karin, gadis yang tak sedetik pun pernah menoleh ke arahku. Karin, gadis yang mencintai pagar rumahku.
*
“Aku mencitaimu,” bisikku tepat di telinga gadis bermata sipit di sampingku.Dia tidak berkedip apalagi menoleh ke arahku. Tatapan matanya dingin, memandang lurus benda tinggi putih menjulang di hadapannya. Tangannya memeluk erat benda yang diakui sebagai belahan jiwanya.
“Mengapa kau tidak menjawab?” tanyaku.
Sudah hampir tiga tahun seperti ini. Setiap hari. Aku bahkan pernah berpikir untuk menghancurkan besi menjulang ini dan akhirnya urung tiap kali menatap mata teduh gadis ini. Ya, gadis ini memang gila. Gadis gila yang mencintai benda dingin tak bernyawa. Dan aku, lelaki yang selama tiga tahun selalu mengintip dari balik jendela, mungkin sudah gila. Aku, mencintai gadis ini. Aku mencintai benda hidup di sampingku.
**
Makassar, 1 Mei 2012
Langganan:
Postingan (Atom)