Resensi buku

Selasa, 30 Oktober 2012

Dara dan Senyum Matahari

“Tidak ada senja yang sama. Senja selalu membawa cerita berbeda setiap hari dan aku selalu menikmatinya. Aku tak ingin bersusah payah kembali ke hari kemarin hanya untuk menikmati senja. Sebab, senja sudah kurekam dalam sajak. Begitu pula cinta….”

Dulu, aku selalu merasa orang yang paling malang di dunia. Lelaki paling kasihan. Ya, dulu, saat aku dan Alya putus. Bagaimana tidak, kami sudah berpacaran cukup lama. Tiga tahun, sejak kelas dua SMA. Di tahun ketiga, Alya memutuskan hubungan tiba-tiba dengan alasan yang tidak masuk akal. Dia akan melanjutkan kuliah di luar negeri. Dia tidak sanggup jika menjalani hubungan jarak jauh. Persetan! Saat itu aku sangat muak dan marah.

Itu dulu. Sebelum setahun kemudian aku bertemu dengan Dara, si pemilik senyum matahari. Dara, tetangga baruku, hadir membawa tujuh warna pelangi untukku. Dia mengubah hidupku bahkan sejak pertama kami berkenalan. Demi apapun, ingin kucuri sedikit keceriaan di dalam senyumnya.

Saat aku terpuruk mengingat masa lalu, dia seperti lilin kecil memberi terang dalam hidup yang telah kuanggap kelam sejak hubunganku dengan Alya berakhir tragis. Dulu, aku selalu ingin menghentikan waktu setiap kuingat Alya. Sebab sakitnya benar-benar sampai ke ulu hati.

Kini, aku pun ingin menghentikan waktu. Bedanya, sekarang karena Dara. Gadis itu, dengan senyum hangatnya—seperti bunga matahari, cerah—benar-benar membuatku ingin menghentikan dunia. Agar lebih lama bisa kukagumi paras elok itu. Aku bahkan lupa sudah berapa lama aku tenggelam dan menutup pintu dari perempuan lain. Semua karena Dara.

“Apa yang kausuka dariku, Adera?” tanya Dara suatu hari.

Aku tersenyum dan memandang wajah ovalnya. “Kau membuat segalanya lebih indah, Dara. Ada banyak bunga di hatimu. Ada banyak pelangi di senyummu. Aku mau memetik dan mengambil satu warnanya, kuberi untukmu.”

Wajah itu merona karena malu. Aku suka.

“Oh, ya? Bunga apa yang akan kaupetik dan warna apa yang akan kaupilih?”

Aku menyentuh pipinya dengan satu jariku. “Bunga matahari dan warna jingga. Kau yang terbaik, Dara. Kau.”
**

4 komentar: